Konon Pada jaman kerajaan Majapahit wilayah
bekas kerajaan Kediri bagian selatan masih berupa hutan belantara. Di tengah
hutan tersebut hiduplah seorang pemuda yang berwajah jelek. Ia menyendiri
karena wajahnya. Ia memohon kepada Tuhan agar wajahnya diubah agar
tidak malu bertemu dengan orang. Ia mulai bertapa di bawah pohon
beringin. Ia hanya ditemani oleh seekor harimau dan seekor ular yang sangat
setia dan sayang kepada dirinya. Sang pertapa tersebut bernama Singonaga
Dinamakan demikian karena wajahnya seperti singa juga karena temannya
harimau dan ular. Sang pemuda bertapa dengan penuh keyakinan kepada Tuhan bahwa
Tuhan akan mengabulkan permintaan jika dibarengi dengan kesungguhan. Pada saat
Singanaga bertapa hewan piaraannya pun ikut bertapa.
Alkisah di kerajaan Majapahit sang Ratu Tribuana
Tunggadewi pada suatu malam bermimpi bertemu dengan para leluhurnya. Impian
tersebut oleh sang Ratu ditanyakan kepada Patih Narmada. Menurut patih Narmada
bahwa impian Ratu merupakan petunjuk gaib dari yang kuasa. Oleh sebab itu sang
Ratu disarankan melakukan upacara puja atau sesaji di makam leluhurnya yang
berada di Simping dan Sawentar. Gusti Ratu Tribuana Tunggadewi berangkat dengan
rombongan lengkap menuju Simping dan Sawentar. 3 hari 3 malam rombongan
sang Ratu berjalan sampailah di suatu tempat yang rindang dan asri. Kerena
hampir semua prajurit merasa lelah sang patih Narmada memberi aba-aba untuk
istirahat. Beristirahatlah rombongan tersebut di tengah hutan yang asri dan
indah. Para prajurit menyiapkan tempat istirahat untuk Gusti Ratu Tribuana
Tunggadewi. Mereka membersihkan tempat di sekitar pohon-pohon yang besar agar
hawa lebih segar. Saat prajurit mempersiapkan diri betapa terkejutnya sang Ratu
melihat ada suatu benda yang bercahaya memancar bagaikan sinar api yang
menerangi dalam kegelapan. Didekatikah sumber cahaya tersebut oleh sang Ratu.
Betapa terkejutnya ternyata sumber cahaya tersebut adalah seorang pertapa.
Ratu Tribuana Tungga dewi membangunkan sang pertapa ia
kagum atas ketekunan dan keteguhan hatinya dalam bertapa. Sang pertapa sekarang
tidak berwajah buruk lagi tetapi sudah berubah menjadi gagah dan tampan
sehingga hampir seluruh dayang-dayang sang Ratu terpikat oleh ketampanan. Sang
pertapa meminta kepada Ratu untuk diberi satu dayangnya yang akan dijadikan
istri untuk meneruskan hidupnya. Tentu saja para dayang saling berebut untuk
diperistri. Atas perintah ratu sang Pertapa memilih dayang yang cocok dengan
dirinya. Pasangan tersebut menurut sang Ratu Sungguh serasi (wangun) untuk
membangun (amangun) Keluarga. Selanjutnya sang Ratu memberikan tanah yang
berada dekat dengan tempat bertapa untuk dijadikan tempat amangun (membangun)
keluarga. Pasangan tersebut sungguh serasi (Wangun) sehingga nama Singanaga
oleh Sang Ratu diganti dengan Mangun Kusuma (artinya Bagaikan Kembang yang
serasi) Sampai sekarang tempat tersebut diberi nama Mangunan (artinya tempat
tinggal Ki Mangun) sementara tempat bertapa terkenal dengan nama Pertapan
atau Tapan (sekarang terdapat pasar yang diberi nama Pasar Tapan) dan tempat
dijodohkannya Ki Mangun dengan Nyai Mangun terkenal dengan nama Mantenan
(tempat bertemu temanten) Ki Mangun sadar ternyata Gusti Ratu tidak sendirian.
Gusti Ratu membawa romongan yang menyebabkan suasana hutan menjadi ramai. Tanpa
disadarai Ki Mangun berbicara sendiri dalam bahasa Jawa “Wono iki dadi rejo…….wonorejo”
(hutan yang ramai) Omongan tersebut didengar oleh prajurit dan prajurit menganggap
bahwa daerah tersebut bernama Wonorejo. Sampai sekarang daerah yang berada di
timur pasar Tapan dikenal dengan nama Wonorejo.
Selang beberapa waktu setelah menikahkan dayangnya
dengan Ki Mangun rombongan Ratu Tribuana Tunggadewi meneruskan perjalannya
menuju simping dan sawentar. Masih belum jauh perjalanan rombongan dikagetkan
oleh beberapa kerbau sedang mengamuk merusak tanaman ( dalam bahasa Jawa Kebo
Gondang). Para prajurit tidak ada yang bisa menghentikan amukan kerbau
tersebut. Berkat bantuan yang pertapa kerbau tersebut dapat dihentikan. Sang
pertapa memukul hingga kerbau tidak berkutik. Kerbau seketika hilang dan langit
menjadi gelap. Tidak begitu lama terjadilah hujan tetapi bukan air melainkan
hujan pasir. Para prajurit berteriak mengingatkan temannya dalam bahasa Jawa
“ Awas udan
awu lho ayo pada ngiyup”
Teriakan
tersebut disambut prajurit yang lain untuk mengingatkan temannya
“Udan awu
……Udan awu…… udan awu……… udan awu dst”
Dan akhirnya
tempat kejadian kerbau mengamuk tersebut terkenal dengan nama Karang Gondang/Udanawu.
Dan sampai sekarang diabadikan nama sebuah kecamatan yaitu Udanawu.
Dan selang beberapa waktu pengikut Ki Mangun ingin membuka hutan bendo
sebelah dari pertapaan Ki Mangun. tetapi alangkah terkejutnya karena dihutan
bendo itu sudah ada orang yang menebang duluan, yaitu Noyo Drono, Abdul Karim dan kawan-kawan. Tak
begitu lama hutan bendo sudah menjadi lahan pertanian dan perkampungan oleh
pimpinan diberi nama “ Bendorejo “.
Karena yang terbanyak tumbuh disitu adalah pohon Bendo, dan juga cepat ramai
(rejo). Maka dari itu dinamakan Bendorejo. Sebuah kampung yang subur dan
makmur.
Singkat cerita Bendorejo menjadi
dukuhan dari desa Slemanan kalau rapat-rapat, minta surat-surat setor uang
pajak pergi ke desa Slemanan dengan berjalan kaki. Abdul Karim merasa kasihan
kepada masyarakat Dukuh Bendorejo, lalu beliau usul kepada pihak yang berwenang
pada saat itu supaya bisa mendirikan desa sendiri, agar lebih dekat kalau ada kepentingan.
Karena tidak ada yang mempunyai kendaraan, Kemana saja harus berjalan kaki.
Usulnya diterima, tetapi ada
syarat-syaratnya. Beliau sanggup memenuhi syarat-syarat tersebut yaitu dengan
suka rela dan tulus ikhlas sebagian besar tanah miliknya diwakofkan untuk “
Bengkok “ untuk Pamong (Perangkat) desa. Alhamdulillah . . . sekarang sudah dapat mandiri menjadi desa
Bendorejo, berkat usaha Abdul Karim. Maka dari itu, desa Bendorejo termasuk
desa yang paling kecil se Kec. Udanawu Karena jaman dahulu hanya dukuhan dari
desa Slemanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar