Selamat Datang Di Website Pemerintahan Desa Bendorejo

Sejarah desa





Konon Pada jaman kerajaan Majapahit wilayah   bekas kerajaan Kediri bagian selatan masih berupa hutan belantara. Di tengah hutan tersebut hiduplah seorang pemuda yang berwajah jelek. Ia menyendiri karena wajahnya.  Ia memohon kepada Tuhan agar wajahnya  diubah agar  tidak malu bertemu dengan orang. Ia mulai bertapa di bawah pohon beringin. Ia hanya ditemani oleh seekor harimau dan seekor ular yang sangat setia dan sayang kepada dirinya. Sang pertapa tersebut bernama Singonaga Dinamakan demikian karena wajahnya seperti singa juga karena  temannya harimau dan ular. Sang pemuda bertapa dengan penuh keyakinan kepada Tuhan bahwa Tuhan akan mengabulkan permintaan jika dibarengi dengan kesungguhan. Pada saat Singanaga bertapa hewan piaraannya pun ikut bertapa.
Alkisah di kerajaan Majapahit sang Ratu Tribuana Tunggadewi pada suatu malam bermimpi bertemu dengan para leluhurnya. Impian tersebut oleh sang Ratu ditanyakan kepada Patih Narmada. Menurut patih Narmada bahwa impian Ratu merupakan petunjuk gaib dari yang kuasa. Oleh sebab itu sang Ratu disarankan melakukan upacara puja atau sesaji di makam leluhurnya yang berada di Simping dan Sawentar. Gusti Ratu Tribuana Tunggadewi berangkat dengan rombongan lengkap menuju Simping dan Sawentar.   3 hari 3 malam rombongan sang Ratu berjalan sampailah di suatu tempat yang rindang dan asri. Kerena hampir semua prajurit merasa lelah sang patih Narmada memberi aba-aba untuk istirahat. Beristirahatlah rombongan tersebut di tengah hutan yang asri dan indah. Para prajurit menyiapkan tempat istirahat untuk Gusti Ratu Tribuana Tunggadewi. Mereka membersihkan tempat di sekitar pohon-pohon yang besar agar hawa lebih segar. Saat prajurit mempersiapkan diri betapa terkejutnya sang Ratu melihat ada suatu benda yang bercahaya memancar bagaikan sinar api yang menerangi dalam kegelapan. Didekatikah sumber cahaya tersebut oleh sang Ratu. Betapa terkejutnya ternyata sumber cahaya tersebut adalah seorang pertapa.
Ratu Tribuana Tungga dewi membangunkan sang pertapa ia kagum atas ketekunan dan keteguhan hatinya dalam bertapa. Sang pertapa sekarang tidak berwajah buruk lagi tetapi sudah berubah menjadi gagah dan tampan sehingga hampir seluruh dayang-dayang sang Ratu terpikat oleh ketampanan. Sang pertapa meminta kepada Ratu untuk diberi satu dayangnya yang akan dijadikan istri untuk meneruskan hidupnya. Tentu saja para dayang saling berebut untuk diperistri. Atas perintah ratu sang Pertapa memilih dayang yang cocok dengan dirinya. Pasangan tersebut menurut sang Ratu Sungguh serasi (wangun) untuk membangun (amangun) Keluarga. Selanjutnya sang Ratu memberikan tanah yang berada dekat dengan tempat bertapa untuk dijadikan tempat amangun (membangun) keluarga. Pasangan tersebut sungguh serasi (Wangun) sehingga nama Singanaga oleh Sang Ratu diganti dengan Mangun Kusuma (artinya Bagaikan Kembang yang serasi) Sampai sekarang tempat tersebut diberi nama Mangunan (artinya tempat tinggal Ki Mangun) sementara tempat bertapa terkenal dengan nama Pertapan atau Tapan (sekarang terdapat pasar yang diberi nama Pasar Tapan) dan tempat dijodohkannya Ki Mangun dengan Nyai Mangun terkenal dengan nama Mantenan (tempat bertemu temanten) Ki Mangun sadar ternyata Gusti Ratu tidak sendirian. Gusti Ratu membawa romongan yang menyebabkan suasana hutan menjadi ramai. Tanpa disadarai Ki Mangun berbicara sendiri dalam bahasa Jawa “Wono iki dadi rejo…….wonorejo” (hutan yang ramai) Omongan tersebut didengar oleh prajurit dan prajurit menganggap bahwa daerah tersebut bernama Wonorejo. Sampai sekarang daerah yang berada di timur pasar Tapan dikenal dengan nama Wonorejo.
Selang beberapa waktu setelah menikahkan dayangnya dengan Ki Mangun rombongan Ratu Tribuana Tunggadewi meneruskan perjalannya menuju simping dan sawentar. Masih belum jauh perjalanan rombongan dikagetkan oleh beberapa kerbau sedang mengamuk merusak tanaman ( dalam bahasa Jawa Kebo Gondang). Para prajurit tidak ada yang bisa menghentikan amukan kerbau tersebut. Berkat bantuan yang pertapa kerbau tersebut dapat dihentikan. Sang pertapa memukul hingga kerbau tidak berkutik. Kerbau seketika hilang dan langit menjadi gelap. Tidak begitu lama terjadilah hujan tetapi bukan air melainkan hujan pasir. Para prajurit berteriak mengingatkan temannya dalam bahasa Jawa
“ Awas udan awu lho ayo pada ngiyup”
Teriakan tersebut disambut prajurit yang lain untuk mengingatkan temannya
“Udan awu ……Udan awu…… udan awu……… udan awu dst”
Dan akhirnya tempat kejadian kerbau mengamuk tersebut terkenal dengan nama Karang Gondang/Udanawu. Dan sampai sekarang diabadikan nama sebuah kecamatan yaitu Udanawu.
Dan selang beberapa waktu  pengikut Ki Mangun ingin membuka hutan bendo sebelah dari pertapaan Ki Mangun. tetapi alangkah terkejutnya karena dihutan bendo itu sudah ada orang yang menebang duluan, yaitu  Noyo Drono, Abdul Karim dan kawan-kawan. Tak begitu lama hutan bendo sudah menjadi lahan pertanian dan perkampungan oleh pimpinan diberi nama  “ Bendorejo “. Karena yang terbanyak tumbuh disitu adalah pohon Bendo, dan juga cepat ramai (rejo). Maka dari itu dinamakan Bendorejo. Sebuah kampung yang subur dan makmur.
            Singkat cerita Bendorejo menjadi dukuhan dari desa Slemanan kalau rapat-rapat, minta surat-surat setor uang pajak pergi ke desa Slemanan dengan berjalan kaki. Abdul Karim merasa kasihan kepada masyarakat Dukuh Bendorejo, lalu beliau usul kepada pihak yang berwenang pada saat itu supaya bisa mendirikan desa sendiri, agar lebih dekat kalau ada kepentingan. Karena tidak ada yang mempunyai kendaraan, Kemana saja harus berjalan kaki.
            Usulnya diterima, tetapi ada syarat-syaratnya. Beliau sanggup memenuhi syarat-syarat tersebut yaitu dengan suka rela dan tulus ikhlas sebagian besar tanah miliknya diwakofkan untuk “ Bengkok “ untuk Pamong (Perangkat) desa. Alhamdulillah . . .  sekarang sudah dapat mandiri menjadi desa Bendorejo, berkat usaha Abdul Karim. Maka dari itu, desa Bendorejo termasuk desa yang paling kecil se Kec. Udanawu Karena jaman dahulu hanya dukuhan dari desa Slemanan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar